Keluar dari Facebook – Sebagian besar perjalanan karier saya sebelum bergabung dengan Facebook adalah menjadi tenaga pemasaran di Selandia Baru. Setelah hijrah ke Singapura, saya membutuhkan enam bulan hingga akhirnya mendapatkan jabatan idaman di raksasa media sosial tersebut.
Saya tidak langsung sukses bergabung ke Facebook dalam percobaan pertama, ataupun setelah menjalani tiga telewicara, satu sesi presentasi, dan empat jadwal wawancara berurutan. Baru tiga bulan kemudian, saya menerima telepon dari Facebook yang menawarkan jabatan berbeda, di mana kemampuan saya dianggap lebih cocok.
Selama dua tahun meniti karier pada raksasa media sosial itu, saya bekerja sama dengan sederet brand e-commerce Asia Pasifik yang tumbuh pesat, seperti HiSmile, Skinny Tan, dan 4WD Supacentre. Saya berperan sebagai konsultan bagi para klien untuk menyampaikan strategi terkini dari Facebook dan bagaimana mengimplementasikannya.
Mengapa saya meninggalkan perusahaan impian?
Saya mengundurkan diri karena meyakini terdapat gelembung pasar pada saat itu (dan masih ada hingga kini). Menurut saya, salah satu alasan mengapa gelembung tersebut sangat besar adalah karena banyak brandternama masih menghabiskan sebagian besar biaya pemasaran masing-masing pada iklan di televisi dan media tradisional.
Di lain sisi, iklan Facebook ditawarkan dengan sistem lelang. Karena banyak brand ternama belum menggarap platform ini, agen periklanan perlahan-lahan masuk untuk memanfaatkan situasi tersebut.
Baca Juga : Bisnis Perlu Scale Up
Tiap pengelola brand punya peluang besar untuk mengembangkan usaha masing-masing secara kilat, meninggalkan para pesaingnya yang hanya bisa berusaha mengejar kelak. Biaya iklan Facebook di masa depan tak akan semurah pada saat ini.
Saya kemudian mendirikan ROAS Media, agensi pemasaran yang fokus pada iklan Facebook dan Instagram. Secara teori, proses yang saya lalui untuk mendirikan startup ini cukup simpel:
- Ambil strategi terbaik yang saya pelajari di Facebook,
- Tambahkan beberapa ide baru, lalu
- Cari klien dengan produk bagus yang bisa dijual di seluruh dunia.
Tapi perusahaan saya tidak mengalami kesuksesan instan. Berikut adalah beberapa hal yang saya alami dan pelajari dengan menjalani lika-liku usaha ini.
Terasa canggung
Satu hal yang tak pernah saya ketahui tentang meninggalkan perusahaan besar untuk mendirikan startup sendiri adalah, akan terasa canggung.
Terasa canggung ketika menyaksikan istri berangkat kerja, sedangkan saya masih duduk di meja makan sambil berharap bisa mendapatkan klien dan kembali menyumbang nafkah bagi keluarga. Terasa canggung mengeklik tombol Refresh berulang kali pada jaringan Wi-Fi gratis di Starbucks yang punya batas waktu pemakaian tiga puluh menit. Terasa canggung saat teman-teman menanyakan bagaimana kondisi bisnis saya saat usaha baru berjalan selama satu atau dua minggu.
Sebagian besar karier saya dihabiskan dengan perasaan tenang, karena saya tahu akan menerima gaji di rekening bank setiap bulan. Sekitar dua minggu setelah mendirikan perusahaan, saya akhirnya menyadari telah benar-benar berada di luar zona nyaman. Tak ada orang lain yang bertanggung jawab untuk memastikan saya akan menerima penghasilan tiap bulan, kecuali diri saya sendiri.
Ketika momen itu tiba, saya langsung melupakan segala kecanggungan serta mampu mendedikasikan waktu dan tenaga untuk berusaha menghasilkan uang. Saya lalu mampu bekerja 14 hingga 18 jam per hari, 7 hari seminggu.
Belajar memasarkan visi startup
Kesulitan datang saat hendak membentuk tim pertama. Saya terlalu lama bekerja di perusahaan yang terbiasa kebanjiran pelamar kerja dari seluruh dunia. Saya perlu berusaha keras memasarkan visi dan rencana pengembangan bisnis perusahaan ke depan.
Saya belajar dengan cepat untuk menyeleksi kandidat yang benar-benar bersemangat atas visi perusahaan, perkembangannya sejauh ini, dan rencana-rencana yang ada untuk masa depan.
Sebelum membagikan visi kamu dengan kandidat potensial, coba tanyakan pada tim untuk menjelaskan visi perusahaan. Bila para anggota tim kamu tidak bisa mengomunikasikan visi tersebut dengan jelas padamu, maka kemungkinan besar kamu bakal kesulitan menyampaikan hal serupa pada kandidat karyawan mana pun.
Visi perusahaanmu harus bisa menular. Hal ini semestinya bisa menginspirasi kandidat yang tepat untuk menghasilkan ide-ide cemerlang.
Baca Juga : Kesalahan membuat startup gagal
Saya suka meminta para kandidat berandai-andai memegang peranan penting dalam perusahaan untuk meraih visi yang telah ditetapkan—meski harus memegang berbagai jabatan. Di akhir sesi tanya jawab, saya ingin para kandidat memiliki gambaran bahwa mereka bisa meraih berbagai hal dalam beberapa tahun ke depan bila bergabung dengan perusahaan ini.
Relakan kendali
Perjalanan dari membangun perusahaan seorang diri menjadi bersama dengan tim selalu mencakup proses transisi yang menantang. Sebagai perumpamaan, saya sering berkata bahwa dalam perjalanan saya membangun istana, pada awalnya saya harus memulai dari rumah yang tersusun dari kartu.
Bisnis perusahaan tak akan berkembang jauh bila hanya diurusi oleh saya seorang diri. Saya harus mengajak anggota-anggota tim untuk membangun struktur fondasi yang jauh lebih kokoh.
Ada suatu kejadian di mana penghasilan kami turun hingga empat puluh persen dalam jangka waktu dua minggu. Penyebabnya karena dua klien terbesar kami memutuskan untuk mengakhiri kerja sama. Saya sempat syok, ini pertama kalinya kemampuan kepemimpinan saya diuji.
Saya bekerja hingga larut malam untuk membuat rencana kerja. Keesokan harinya, saya mengumumkan kebijakan baru ROAS kepada tim— sebuah cetak biru bahwa kami tak akan lagi bergantung lagi pada satu atau dua klien saja.
Saat itu merupakan pertama kalinya saya memberikan kendali penuh kepada tim. Jumlah klien perusahaan kami tak akan berkembang jauh dari hanya beberapa saja, serta para pribadi tiap anggota tim tak akan mengalami kemajuan bila saya tidak mulai lebih memercayai mereka.
Saya mengizinkan mereka memeriksa para klien, serta menyumbangkan ide untuk mengembangkan bisnis. Sangat sulit untuk menyerahkan semuanya pada tim, menyaksikan apakah mereka sudah siap dan mampu mendapatkan kontrak senilai US$60.000 tanpa campur tangan saya. Untungnya, risiko yang saya ambil membuahkan hasil menggembirakan.
Saya tak perlu lagi mendapatkan kontrak bisnis seorang diri. Saya punya lebih banyak waktu untuk bekerja dan mengembangkan basis pelanggan yang sudah ada.
Menjaga tim tetap kompak merupakan salah satu motivasi terbesar saya. Saat menjalankan bisnis seorang diri, bisa saja sewaktu-waktu saya berhenti berwirausaha dan kembali menjadi karyawan dengan pekerjaan stabil. Tetapi dengan memiliki tim, saya tak bisa lagi berkeinginan untuk berhenti tanpa pertimbangan masak-masak.
Jadi, apa kamu perlu tetap menjadi karyawan bergaji tinggi dan stabil, atau nekat mendirikan perusahaan sendiri? Saya pribadi percaya bahwa bila kamu masih menanyakan hal ini pada diri sendiri, maka kamu belum siap untuk mengambil risiko.
Meski begitu, jika hampir tak ada lagi yang menahan keinginanmu, dan kamu bisa menanggung risiko, maka lakukanlah. Lebih baik melakukannya daripada terus penasaran dan bertanya-tanya, “Andai saja.”
Nilai dan hal paling berharga sebenarnya dari semua ini adalah pengalaman yang kamu dapatkan … dari usaha untuk mencoba.
Meski pada akhirnya usaha kamu tak membuahkan hasil sesuai harapan, serta kamu ingin kembali bekerja menjadi karyawan, ada kemungkinan kamu dapat menemukan pekerjaan lagi dengan cukup mudah. Pengalaman yang kamu raih dengan memulai usaha sendiri bisa membuatmu menaiki tangga karier di dunia korporat dengan lebih cepat, ketimbang kamu tak pernah mengambil risiko sebelumnya.
Nilai dan hal paling berharga sebenarnya dari semua ini adalah pengalaman yang kamu dapatkan—tak peduli startup milikmu sukses atau tidak—dari usaha untuk mencoba. Kita tak boleh lupa bahwa sekadar punya pilihan untuk mencoba mendirikan perusahaan adalah kesempatan yang tidak dimiliki oleh setiap orang.
Post A Comment:
0 comments: