Startup yang Jelas Pendiri, Bisnis, dan Investornya Bukanlah “Startup Bodong”
Kemarin sebuah artikel yang dimuat Tempo sempat menimbulkan kehebohan. Memuat pernyataan anggota Komite Tetap Peningkatan Penggunaan Produksi Dalam Negeri Kadin Handito Joewono, artikel tersebut mengundang kontroversi di kalangan penggiat startup teknologi. Menurut kami, ada beberapa hal yang perlu dikoreksi dan dibahas lebih lanjut.
“Startup Bodong”
Yang pertama, Handito sama sekali tidak menyebut istilah “bodong” dalam pernyataannya, setidaknya yang dimuat di artikel. Dalam hal ini kami mempertanyakan apakah benar Handito mengatakan hal tersebut atau memang jurnalis Tempo menggunakan istilah itu tanpa pemahaman apakah kata bodong cocok digunakan untuk kondisi startup yang didirikan dengan model bisnis didirikan untuk dijual (build-to-sell).
Menurut pemahaman kami, istilah bodong baru cocok digunakan untuk usaha yang tidak jelas bagaimana pertanggungjawabannya kepada investor. Dalam kasus startup teknologi, investor sangat tahu lini bisnis dan model bisnis sebuah startup, mengenal risiko yang ditanggung, mengetahui siapa saja pendiri startup, dan mengetahui apa tujuan pendirian sebuah startup.
Jikalau ada startup yang gagal bertahan, suatu hal lazim mengingat 9 dari 10 startup pasti gagal, risiko hanya ditanggung oleh pendiri dan investor (yang masuk dalam putaran pendanaan tertutup). Belum ada startup, sepengetahuan saya, yang sudah IPO, artinya mengurangi dampak kerugian publik yang lebih luas.
Lalu bagaimana dengan karyawan perusahaan startup? Pertama, startup bukanlah pabrik yang padat dengan karyawan tanpa keahlian khusus. Jika perusahaan ditutup, mereka (yang jumlahnya mungkin cuma belasan, puluhan, atau maksimal dalam hitungan ratusan) cenderung lebih mudah mencari pekerjaan pengganti. Kedua, mereka sudah tahu risiko bekerja di startup, seperti yang sudah disebutkan di atas. Itu sebabnya karyawan periode awal biasanya diberikan insentif kepemilikan saham sebagai imbal balik dedikasinya untuk ikut membangun perusahaan secara bersama-sama.
Pertumbuhan tinggi belum tentu tidak ada “real value”
Handito dalam pernyataannya mengatakan:
“Ada dua ciri umum untuk melihat apakah dimanfaatkan sebagai economic growthatau tidak. Pertama, pertumbuhannya yang sangat cepat terutama di rekrutmen member atau pelanggan. Kedua, bisnis modelnya tidak menghadirkan pemasukan yang real. Hanya sekedar rekrut anggota, tapi pemasukannya tidak terbaca. Lebih banyak dibiayai oleh pemodal, nanti ini kan ada batasnya.Ini berbahaya, kelihatannya besar, transaksi tidak penting, habis itu jual perusahaan.”
Dengan segala hormat kepada pengurus Kadin, kami pikir tidak ada yang salah dengan mental pendirian startup yang bermotif build-to-sell. Praktik ini sudah umum dilakukan di Amerika Serikat, terutama di sektor teknologi, dan sudah mencetak banyak serial entrepreneur. Mereka-mereka ini sesungguhnya menjadi katalis ekonomi, karena proses merger dan akuisisi yang bersifat high profile menunjukkan kepercayaan pasar terhadap ekonomi suatu negara.
Pengusaha layanan build-to-sell adalah tipe mereka yang ingin membuat sesuatu tetapi tidak ingin terlibat terlalu lama ketika layanan sudah semakin besar dan semakin stabil. Mereka cenderung mencoba mencari tantangan baru, dalam hal ini peluang baru, untuk terus mengasah intuisi bisnisnya.
Sekarang kita lihat contohnya Tokopedia atau Go-Jek yang setidaknya karena masih berbasis subsidi, sebagian besar biaya operasionalnya masih mengandalkan pendanaan dari investor. Apakah tidak ada nilai ekonomi riil yang terlibat saat mereka menjadi semakin besar? Dari pengemudi mitra, pengusaha UKM, sampai perusahaan periklanan mendapatkan dampak langsung dari kehadiran layanan ini. Semua itu riil untuk ekonomi.
Kami pikir kekhawatiran adanya bubble adalah wajar, apalagi sekarang di Amerika Serikat sendiri mulai santer berita beberapa startup bervaluasi unicorn (dengan nilai valuasi lebih dari $1 miliar) yang meredup karena tak mampu mencari tambahan pendanaan, tak mampu menghasilkan profit, tak mampu berinovasi, atau bahkan melakukan kebohongan terhadap kualitas produknya. Tapi hal itu tidak menjadi legitimasi untuk membatasi ruang gerak layanan lokal yang masih berusia seumur jagung.
Alih-alih fokus membesarkan perusahaan dan layanannya (sambil memberikan dampak riil ke masyarakat), layanan e-commerce atau startup lainnya malah terlalu sibuk berurusan dengan regulasi yang mengikat. Secara seleksi alam, 90% startup akan mati. Apakah perlu 10% sisanya terus-terus dicurigai sebelum benar-benar menjadi perusahaan yang mampu berdikari?
Post A Comment:
0 comments: